Sejarah Bank Dunia
Bank Dunia adalah sebuah lembaga
keuangan global yang secara struktural berada di bawah PBB dan
diistilahkan sebagai “specialized agency”. Bank Dunia dibentuk tahun
1944 sebagai hasil dari Konferensi Bretton Woods yang berlangsung di AS.
Konferensi itu diikuti oleh delegasi dari 44 negara, namun yang paling
berperan dalam negosiasi pembentukan Bank Dunia adalah AS dan Inggris.
Tujuan awal dari dibentuknya Bank Dunia adalah untuk mengatur keuangan
dunia pasca PD II dan membantu negara-negara korban perang untuk
membangun kembali perekonomiannya.
Sejak tahun 1960-an,
pemberian pinjaman difokuskan kepada negara-negara non-Eropa untuk
membiayai proyek-proyek yang bisa menghasilkan uang, supaya negara yang
bersangkutan bisa membayar kembali hutangnya, misalnya proyek
pembangunan pelabuhan, jalan tol, atau pembangkit listrik. Era
1968-1980, pinjaman Bank Dunia banyak dikucurkan kepada negara-negara
Dunia Ketiga, dengan tujuan ideal untuk mengentaskan kemiskinan di
negara-negara tersebut. Pada era itu, pinjaman negara-negara Dunia
Ketiga kepada Bank Dunia meningkat 20% setiap tahunnya.
Peran Bank Dunia dalam Ekonomi dan Politik Global
Rittberger
dan Zangl (2006: 172) menulis, sejak tahun 1970-an Bank Dunia mengubah
konsentrasinya karena situasi semakin meningkatnya jurang perekonomian
antara negara berkembang dan negara maju. Pada era itu, seiring dengan
merdekanya negara-negara yang semula terjajah, jumlah negara berkembang
semakin meningkat. Negara-negara berkembang menuntut distribusi
kemakmuran (distribution of welfare) yang lebih merata dan negara-negara
maju memenuhi tuntutan ini dengan cara menyuplai dana pembangunan di
negara-negara berkembang.
Basis keuangan Bank Dunia adalah
modal yang diinvestasikan oleh negara anggota bank ini yang berjumlah
186 negara. Lima pemegang saham terbesar di Bank Dunia adalah AS,
Perancis, Jerman, Inggris, dan Jepang. Kelima negara itu berhak
menempatkan masing-masing satu Direktur Eksekutif dan merekalah yang
akan memilih Presiden Bank Dunia. Secara tradisi, Presiden Bank Dunia
adalah orang AS karena AS adalah pemegang saham terbesar. Sementara itu,
181 negara lain diwakili oleh 19 Direktur Eksekutif (satu Direktur
Eksekutif akan menjadi wakil dari beberapa negara).
Bank
Dunia berperan besar dalam membangun kembali tatanan ekonomi liberal
pasca Perang Dunia II (Rittberger dan Zangl, 2006: 41). Pembangunan
kembali tatanan ekonomi liberal itu dipimpin oleh AS dengan rancangan
utama mendirikan sebuah tatanan perdagangan dunia liberal. Untuk
mencapai tujuan ini, perlu dibentuk tatanan moneter yang berlandaskan
mata uang yang bebas untuk dikonversi. Rittberger dan Zangl (2006: 43)
menulis, “Perjanjian Bretton Woods mewajibkan negara-negara untuk
menjamin kebebasan mata uang mereka untuk dikonversi dan mempertahankan
standar pertukaran yang stabil terhadap Dollar AS.”
Lembaga
yang bertugas untuk menjaga kestabilan moneter itu adalah IMF
(International Monetary Funds) dan IBRD (International Bank for
Reconstruction dan Development). IBRD inilah yang kemudian sering
disebut “Bank Dunia”. Pendirian Bank Dunia dan IMF tahun 1944 diikuti
oleh pembentukan tatanan perdagangan dunia melalui lembaga bernama GATT
(General Agreement on Tariffs and Trade) pada tahun 1947. Pada tahun
1995, GATT berevolusi menjadi WTO (World Trade Organization).
Meskipun
tugas Bank Dunia adalah mengatur kestabilan moneter, namun dalam
prakteknya, Bank Dunia sangat mempengaruhi politik global karena hampir
semua negara di dunia menjadi penerima hutang dari Bank Dunia. Sejak
awal beroperasinya, Bank Dunia sudah mempengaruhi politik dalam negeri
negara yang menjadi penghutangnya. Penerima hutang pertama Bank Dunia
adalah Perancis, yaitu pada tahun 1947, dengan pinjaman sebesar $ 987
juta. Pinjaman itu diberikan dengan syarat yang ketat, antara lain staf
dari Bank Dunia mengawasi penggunaan dana itu dan menjaga agar Perancis
mendahulukan membayar hutang kepada Bank Dunia daripada hutangnya kepada
negara lain. AS juga ikut campur dalam proses pencairan hutang ini.
Kementerian Dalam Negeri AS meminta Perancis agar mengeluarkan kelompok
komunis dari koalisi pemerintahan. Hanya beberapa jam setelah Perancis
menuruti permintaan itu, pinjaman pun cair.
Kebijakan yang
diterapkan Bank Dunia yang mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi
suatu negara, disebut SAP (Structural Adjustment Program). Bila
negara-negara ingin meminta tambahan hutang, Bank Dunia memerintahkan
agar negera penerima hutang melakukan “perubahan kebijakan” (yang diatur
dalam SAP). Bila negara tersebut gagal menerapkan SAP, Bank Dunia akan
memberi sanksi fiskal. Perubahan kebijakan yang diatur dalam SAP antara
lain, program pasar bebas, privatisasi, dan deregulasi.
Karena
adanya SAP ini, tak dapat dipungkiri, pengaruh Bank Dunia terhadap
politik dan ekonomi dalam negeri Indonesia juga sangat besar,
sebagaimana akan diuraikan berikut ini.
Kinerja Bank Dunia di Indonesia
Bank
Dunia telah aktif di Indonesia sejak 1967. Sejak saat itu hingga saat
ini, Bank Dunia telah membiayai lebih dari 280 proyek dan program
pembangunan senilai 26,2 milyar dollar atau setara dengan Rp243,725
triliun (dengan kurs Rp9.302 per USD). Menurut Managing Director The
World Bank Group, Ngozi Okonjo (30/1/2008), pinjaman tersebut telah
digunakan pemerintah Indonesia untuk mendukung pengembangan energi,
industri, dan pertanian. Sementara yang sektor yang paling mendominasi
selama 20 tahun pertama yakni infrastruktur yang pemberiannya kepada
masyarakat miskin. Total hutang Indonesia kepada Bank Dunia adalah 243,7
Trilyun rupiah dan total hutang pemerintah Indonesia kepada berbagai
pihak mencapai 1600 Trilyun rupiah.
RUBIANTO TANOTO (2009)
menulis, ada beberapa tugas Bank Dunia di Indonesia. Pertama, memimpin
Forum CGI. Aggota CGI (Consultative Group meeting on Indonesia) adalah
33 negara dan lembaga-lembaga donor yang dikoordinasikan oleh Bank
Dunia. CGI “membantu” pembangunan di Indonesia dengan cara memberikan
pinjaman uang serta bantuan teknik untuk menciptakan aturan-aturan pasar
dan aktivitas ekonomi liberal. Dalam hal ini, Bank Dunia bertugas
menciptakan pasar yang kuat bagi kepentingan negara-negara dan lembaga
donor.
Tugas kedua Bank Dunia adalah menyediakan hutang
dalam jumlah besar, bekerjasama dengan Jepang dan ADB (Asian Development
Bank). Tugas Bank Dunia yang lain adalah mendorong pemerintah Indonesia
untuk melakukan privatisasi dan kebijakan yang memihak pada
perusahaan-perusahaan besar.
Dana hutang yang diberikan kepada Indonesia, antara lain dalam bentuk hutang proyek dan hutang dana segar.
a. Hutang Proyek
Hutang
proyek adalah hutang dalam bentuk fasilitas berbelanja barang dan jasa
secara kredit. Namun, sayangnya, hutang ini justru menjadi alat bagi
Bank Dunia untuk memasarkan barang dan jasa dari negara-negara pemegang
saham utama, seperti Amerika, Inggris, Jepang dan lainnya kepada
Indonesia.
b. Hutang Dana Segar
Hutang dana segar
bisa dicairkan bila Indonesia menerima Program Penyesuaian Struktural
(SAP). SAP mensyaratkan pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan
yang bentuknya, antara lain:
1. swastanisasi (Privatisasi) BUMN dan lembaga-lembaga pendidikan
2. deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor
3. pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti: beras, listrik, pupuk dan rokok
4. menaikkan tarif telepon dan pos
5. menaikkan harga bahan bakar (BBM)
Besarnya
jumlah hutang (yang terus bertambah) membuat pemerintah juga harus
terus mengalokasikan dana APBN untuk membayar hutng dan bunganya.
Sebagai illustrasi, dapat kita lihat data APBN 2004 dimana pemerintah
mengalokasikan Rp 114.8 trilyun (28% dari total anggaran) untuk belanja
daerah, Rp 113.3 trilyun untuk pembayaran utang dalam dan luar negeri
(27% dari total anggaran), dan subsidi hanya Rp 23.3 trilyun (5% dari
total anggaran). Dari ketiga komponen anggaran belanja tersebut,
anggaran belanja daerah dan subsidi masing-masing mengalami penurunan
sebesar Rp 2 trilyun dan Rp 2.1 trilyun. Sedangkan alokasi untuk
pembayaran utang mengalami kenaikan sebesar Rp 14.1 trilyun.
Komposisi
dalam anggaran belanja negara tersebut mencerminkan besarnya beban
utang tidak saja menguras sumber-sumber pendapatan negara, tetapi juga
mengorbankan kepentingan rakyat berupa pemotongan subsidi dan belanja
daerah. Karena itu, meski Bank Dunia memiliki semboyan “working for a
world free of poverty”, namun meski telah lebih dari 60 tahun beroperasi
di Indonesia, angka kemiskinan masih tetap tinggi. Data dari Badan
Pusat Statistik tahun 2009, ada 31,5 juta penduduk miskin di Indonesia.
RUBIANTO
TANOTO (2009), peneliti dari Institute of Global Justice, menulis,
kerugian yang diderita Indonesia karena menerima pinjaman dari Bank
Dunia adalah sebagai berikut.
1. Kerugian dalam bidang ekonomi
-Indonesia
kehilangan hasil dari pengilangan minyak dan penambangan mineral
(karena diberikan untuk membayar hutang dan karena proses pengilangan
dan penambangan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnational
partner Bank Dunia)
-Jebakan hutang yang semakin membesar, karena
mayoritas hutang diberikan dengan konsesi pembebasan pajak bagi
perusahaan-perusahaan AS dan negara donor lainnya.
-Hutang yang
diberikan akhirnya kembali dinikmati negara donor karena Indonesia harus
membayar “biaya konsultasi” kepada para pakar asing, yang sebenarnya
bisa dilakukan oleh para ahli Indonesia sendiri.
-Hutang juga
dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak bermanfaat bagi
Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga penelitian dan
universitas-universitas.
-Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk
membangun infrastuktur demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing,
seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang minyak Caltex atau
Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah
kontrol pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan
Exxon.
2. Kerugian dalam bidang politik
-
Keterikatan pada hutang membuat pemerintah menjadi sangat bergantung
kepada Bank Dunia dan mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang
dibuat pemerintah. Pemerintah harus berkali-kali membuat reformasi hukum
yang sesuai dengan kepentingan Bank Dunia.
Hal ini juga
diungkapkan ekonom Rizal Ramli (2009), ”Lembaga-lembaga keuangan
internasional, seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan sebagainya dalam
memberikan pinjaman, biasanya memesan dan menuntut UU ataupun peraturan
pemerintah negara yang menerima pinjaman, tidak hanya dalam bidang
ekonomi, tetapi juga di bidang sosial. Misalnya, pinjaman sebesar 300
juta dolar AS dari ADB yang ditukar dengan UU Privatisasi BUMN, sejalan
dengan kebijakan Neoliberal. UU Migas ditukar dengan pinjaman 400 juta
dolar AS dari Bank Dunia.”
Cara kerja Bank Dunia (dan
lembaga-lembaga donor lainnya) dalam menyeret Indonesia (dan
negara-negara berkembang lain) ke dalam jebakan hutang, diceritakan
secara detil oleh John Perkins dalam bukunya, “Economic Hit Men”.
Perkins adalah mantan konsultan keuangan yang bekerja pada perusahaan
bernama Chas T. Main, yaitu perusahaan konsultan teknik. Perusahaan ini
memberikan konsultasi pembangunan proyek-proyek insfrastruktur di
negara-negara berkembang yang dananya berasal dari hutang kepada Bank
Dunia, IMF, dll.
Mengenai pekerjaannya itu, Perkins (2004:
13-16) menulis, “…saya mempunyai dua tujuan penting. Pertama, saya
harus membenarkan (justify) kredit dari dunia internasional yang sangat
besar jumlahnya, yang akan disalurkan melalui Main dan
perusahaan-perusahaan Amerika lainnya (seperti Bechtel, Halliburton,
Stone & Webster) melalui proyek-proyek engineering dan konstruksi
raksasa. Kedua, saya harus bekerja untuk membangkrutkan negara-negara
yang menerima pinjaman raksasa tersebut (tentunya setelah mereka
membayar Main dan kontraktor Amerika lainnya), sehingga mereka untuk
selamanya akan dicengkeram oleh para kreditornya, dan dengan demikian
negara-negara penerima utang itu akan menjadi target yang mudah ketika
kita memerlukan yang kita kehendaki seperti pangkalan-pangkalan militer,
suaranya di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.”
Dalam
wawancaranya dengan Democracy Now! Perkins mengatakan, “Pekerjaan utama
saya adalah membuat kesepakatan (deal-making) dalam pemberian hutang
kepada negara-negara lain, hutang yang sangat besar, jauh lebih besar
daripada kemampuan mereka untuk membayarnya. Salah satu syarat dari
hutang itu adalah—contohnya, hutang 1 milyar dolar untuk negara seperti
Indonesia atau Ecuador—negara ini harus memberikan 90% dari hutang itu
kepada perusahaan AS untuk membangun infrastruktur, misalnya perusahaan
Halliburton atau Bechtel. Ini adalah perusahaan-perusahaan besar.
Perusahaan ini kemudian akan membangun jaringan listrik, pelabuhan, atau
jalan tol, dan ini hanya akan melayani segelintir keluarga kaya di
negara-negara itu. Orang-orang miskin di sana akan terjebak dalam hutang
yang luar biasa yang tidak mungkin bisa mereka bayar.”
Untuk
kasus Ekuador, Perkins menulis, negara itu kini harus memberikan lebih
dari 50% pendapatannya untuk membayar hutang. Hal itu tentu tak mungkin
dilakukan Ekuador. Sebagai kompensasinya, AS meminta Ekuador agar
memberikan ladang-ladang minyaknya kepada perusahaan-perusahaan minyak
AS yang kini beroperasi di kawasan Amazon yang kaya minyak.
Tak
heran bila kemudian ekonom Joseph Stiglitz pada tahun 2002 mengkritik
keras Bank Dunia dan menyebutnya “institusi yang tidak bekerja untuk
orang miskin, lingkungan, atau bahkan stabilitas ekonomi”. Dengan
demikian, menurut Stiglitz, Bank Dunia pada prakteknya menyalahi tujuan
didirikannya bank tersebut, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini,
yaitu untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan menjaga kestabilan
ekonomi.
Melihat kinerja seperti ini, menurut SAYA (2009),
Bank Dunia sesungguhnya telah melanggar Piagam PBB yang menyebutkan,
“to employ international machinery for the promotion of the economic and
social advancement of all peoples”. Dengan kata lain, Bank Dunia
sebagai salah satu organ PBB mendapatkan mandat untuk membantu
meningkatkan kesejahteraan bangsa-bangsa. Bank Dunia malah memfokuskan
operasinya pada penguatan pasar dan keuangan melalui ekspansi ekonomi
perusahaan multinasional, dan membiarkan Indonesia selalu berada dalam
jeratan hutang tak berkesudahan.
No comments:
Post a Comment
put your email addreass