![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5MNnKtAm2NBnfOIXGvQQ65RH9BAWqIp6YHug4Dv2it7S8oljGTFUg4G5fb9CSEYLyc6COue8U6MxFqx9FKAMZmF6QBWxZErHdmbNbBOSGoz9QLPwKYf1C_wf4xGbxqwl6TfgY3BFENHQ/s320/RIIL.bmp)
Persoalan ekonomi Indonesia bukan karena kekurangan dana. Likuiditas tersedia cukup besar di sektor keuangan, terutama perbankan, dan likuiditas dari luar negeri setiap saat dapat masuk Indonesia selama ada kegiatan yang menguntungkan dengan risiko manageable.
Seperti dikemukakan Gubernur BI, hingga Februari dana tersimpan
di SBI mencapai Rp 237 triliun dan kemungkinan bisa mencapai Rp 300
triliun. Dana ini praktis tidak digunakan untuk kegiatan produktif,
kecuali untuk menjaga stabilitas moneter. Akibatnya, bunga yang harus
dibayar sekitar Rp 20 triliun setahun.
Aliran dana
Banyak pihak mengkritik perbankan tidak mengalirkan dana memadai
ke sektor riil, tetapi mengalokasikan dana cukup besar ke SBI dan
obligasi. Bank juga dikritik kurang efisien dengan mempertahankan
perbedaan (spread) antara bunga pinjaman dan biaya mendapatkan dana
(cost of fund) cukup besar.
Kritik ini ada benarnya. Namun, perlu diingat, sejak liberalisasi
keuangan dan terutama sejak krisis, perbankan pada umumnya bersifat
sepenuhnya komersial, jadi pengelola bank akan mengalokasikan dananya
pada kegiatan yang menguntungkan dengan risiko terjaga. Apalagi bank,
sedangkan BI sendiri menurut UU tidak lagi menjadi penggerak pembangunan
secara langsung, dalam pengertian mendorong perkembangan kegiatan
ekonomi.
Baik BI sebagai otoritas moneter maupun pemerintah tidak
mempunyai pengaruh besar untuk mengarahkan aliran dana perbankan,
kecuali secara tidak langsung melalui kebijaksanaan moneter dan fiskal.
Bahkan, untuk bank milik negara sekalipun, seperti Bank Mandiri dan BNI,
pemerintah tidak mempunyai pengaruh besar lagi, apalagi jika
privatisasi kedua bank ini dilanjutkan. Inilah konsekuensi logis
liberalisasi.
Karena itu, selama kegiatan ekonomi di sektor riil, terutama
investasi masih dipandang berisiko tinggi, dan langkanya perusahaan yang
dianggap bankable, terutama dari sisi keadaan keuangan, maka bank tidak
akan mengalokasikan kredit pada kegiatan ini seperti diharapkan.
Sedangkan kegiatan yang dianggap BI dan pengkritik sudah berlebihan
menerima aliran dana, terutama kredit konsumsi, seperti kartu kredit,
pemilikan kendaraan bermotor, dan pemilikan rumah, akan terus tumbuh
karena pengelola bank melihat kegiatan ini masih menguntungkan dan
risikonya dapat dikelola secara memadai.
Inilah dilema penerapan liberalisasi keuangan saat perekonomian
masih dalam pembangunan. Namun, kita tidak dapat menyesalinya dan
membalik perbankan menjadi dapat dikendalikan pemerintah karena sistem
ekonomi sudah terbuka dan kepemilikan bank sudah banyak di tangan
investor asing dan publik. Jika kita memaksakannya, kemungkinan hanya
akan memperburuk keadaan ekonomi karena dianggap tidak ada konsistensi
kebijakan.
Keuangan dan sektor riil
Jika pemerintah ingin menggerakkan sektor riil dengan sistem
keuangan, pemerintah harus memperbaiki kemampuannya menstimulasi
perekonomian. Ini berarti penggunaan anggaran di pusat dan daerah harus
lebih efektif. Selanjutnya, SBI sudah saatnya diganti obligasi jangka
pendek atau Surat Perbendaharaan Negara (SPN) sehingga dana yang
terserap dapat digunakan dalam anggaran. Dalam hal ini tampaknya
pemerintah segera menerbitkan SPN berjangka satu tahun yang disesuaikan
dengan APBN dalam hal jumlah penerbitan obligasi. Selanjutnya,
pemerintah dapat mempertimbangkan penerbitan SPN berjangka waktu enam
bulan.
Tentu saja pekerjaan rumah untuk memperbaiki iklim investasi yang
sudah dinyatakan berkali-kali
harus dijalankan dengan lebih baik. Jika
investasi langsung tidak dapat berkembang, jangan harap kredit perbankan
akan mengalir lebih besar pada kegiatan investasi. Perlu diingat,
investasi, apalagi dalam proyek besar seperti infrastruktur, sebagian
besar pendanaannya seharusnya datang dari ekuitas, bukan kredit dari
bank. Jika bank dipaksa membiayai bagian besar proyek infrastruktur,
risikonya amat tinggi. Jadi, jika pemerintah ingin menggerakkan sektor
riil sebaiknya kembali kepada diri sendiri lebih dulu apa yang dapat
dilakukan.
Jika hal itu dapat berjalan, perbankan tidak perlu dipaksa akan
dengan sukarela masuk pembiayaan investasi karena menguntungkan dan
dengan risiko yang dapat dikelola dengan baik. Selanjutnya, perkembangan
ekonomi akan berjalan lebih seimbang dan bersambungan antara sektor
keuangan dan riil.
Jembatan sektor keuangan dan riil
Sebenarnya, perbankan telah mengalirkan kredit cukup besar dalam
kegiatan sektor riil langsung, bukan hanya melalui kredit konsumsi,
dengan memberi modal kerja UKM dalam jumlah besar. Namun, UKM yang bisa
dibiayai perbankan adalah yang mempunyai laporan keuangan memadai karena
demikianlah peraturan BI dan sesuai manajemen risiko perbankan.
Jika pemerintah dan masyarakat menginginkan perluasan jangkauan
pembiayaan untuk UKM, maka menjadi tugas pemerintah dan dunia usaha
lebih luas untuk mengembangkan program pengembangan UKM yang lebih
sistematis dan efektif. Pada perkembangan tertentu UKM akan dapat
dibiayai bank. Tentu ada kritik, bank tidak bersedia mengambil risiko
yang lebih besar karena syarat supervisi perbankan dari BI dan menjadi
sifat perbankan untuk membiayai kegiatan ekonomi yang risikonya dapat
dikelola dengan baik.
Jadi, menjembatani sektor keuangan dan riil dalam perekonomian
terbuka membutuhkan sinergi kedua pihak, fasilitas, dan stimulasi,
terutama dari otoritas fiskal, karena sejauh ini dapat dikatakan
otoritas moneter cukup optimal dalam menurunkan suku bunga. Hal ini
membutuhkan perbaikan besar dalam kapasitas masing-masing lembaga
pemerintah maupun swasta untuk dapat mengembangkan potensinya secara
optimal.