Saturday, April 30, 2016

TINJAUAN POLITIK EKONOMI MONETER INTERNASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN EKONOMI DAN KEUANGAN

Barangkali terdapat persamaan antara upaya-upaya kerjasama di bidang keuangan
internasional dengan upaya-upaya kerjasama di bidang perdagangan internasional. Di
bidang perdagangan internasional terdapat prakarsa pada tingkat multilateral untuk
memperkuat sistim perdagangan internasional, yaitu agar akses pasar meningkat secara
global (menuju global free trade) dan terdapat kepastian dan stabilitas dalam akses
tersebut untuk semua pesertanya (fair trade).
Pada saat ini sedang berlangsung proses perundingan internasional dalam kerangka WTO
yang dikenal sebagai Doha Round atau Doha Development Agenda (DDA). Upaya ini
telah mengalami berbagai hambatan sehingga proses itu hampir terhenti (Pertemuan
Menteri di Seattle dan di Cancun). Proses pada tingkat multilateral ini sulit dan lambat,
antara lain karena melibatkan jumlah Negara yang banyak dengan berbagai kepentingan
yang berbenturan. Oleh karena itu, tetapi juga oleh karena beberapa faktor lain, sejumlah
negara atau kelompok negara mengambil langkah untuk melakukan kerjasama secara
regional atau bahkan secara bilateral. Maka kini ruang diplomasi perdagangan
internasional dipadati oleh berbagai prakarsa regional (RTAs atau regional trading
arrangements) dan bilateral (bilateral FTAs free trade agreements). Negara seperti
Amerika Serikat, tetapi juga Singapura dan Thailand, kini menerapkan strategi yang
melibatkan upaya di semua tingkatan (multi-tier strategy) multilateral/global, regional,
dan bilateral dalam upaya mereka untuk memperbesar akses pasar dan meningkatkan
kepastian akses tersebut. Tetapi negara-negara ini dalam retorikanya menyatakan bahwa

2
upaya-upaya regional dan bilateral itu dimaksudkan sebagai batu loncatan atau building
blocks bagi tercapainya global free trade.
APEC, misalnya, mempolakan agenda perdagangannya tidak hanya untuk merealisir apa
yang disebut free and open trade in the region tetapi juga untuk memperkuat sistim
perdagangan internasional (WTO). Prakarsa regional APEC bukan untuk membentuk
suatu kerjasama perdagangan yang diskriminatif, seperti NAFTA atau EU, tetapi
mengembangkan apa yang disebut open regionalism melalui modalitas concerted
unilateral (trade and investment) liberalization serta upaya-upaya fasilitasi dan
kerjasama ekonomi dan teknikal. Modalitas mendorong upaya-upaya nasional
(unilateral) melalui apa yang disebut Individual Action Plans (IAPs). AFTA merupakan
prakarsa negara-negara ASEAN dalam jangkauan yang lebih terbatas tetapi secara formal
merupakan RTA. ASEAN+3 juga mengarah pada prakarsa perdagangan regional,
walaupun kini baru bisa menyepakati beberapa prakarsa ASEAN+1.
Di bidang kerjasama keuangan internasional juga terdapat sejumlah prakarsa pada tingkat
multilateral dan regional serta bilateral. Di tingkat global/multilateral telah dilontarkan
gagasan mereformasi arsitektur keuangan global/internasional (international financial
architecture) atau membentuk suatu arsitektur yang baru. Tujuan utama kerjasama
keuangan internasional adalah untuk menjaga dan meningkatkan stabilitas keuangan.
Dari perspektif pembangunan (negara-negara berkembang) sebenarnya suatu arsitektur
keuangan internasional juga harus dapat menjamin peningkatan akses pada sumber daya
keuangan, termasuk akses pada likuiditas internasional pada saat menghadapi atau dalam
upaya mengatasi suatu krisis ekonomi finansial.
Upaya-upaya di tingkat multilateral/global tidak banyak mengalami kemajuan. Bahkan
reformasi arsitektur keuangan internasional tidak lagi menjadi agenda utama. Tetapi salah
satu hal yang membedakan upaya di bidang keuangan dengan upaya di bidang
perdagangan pada tingkat multilateral ini adalah bahwa dalam proses reformasi keuangan
internasional representasi negara-negara berkembang sangat terbatas dan lemah, bahkan
tidak dilibatkan dalam Financial Stability Forum (kecuali Hong Kong dan Singapura)

3
dan G-10 Basel Committees. Pembahasan pada tingkat multilateral lebih banyak
menyarankan reformasi pada tingkat nasional (memperkuat kebijakan ekonomi makro
dan regulasi keuangan di negara-negara berkembang) daripada pada tingkat internasional.
Yang belum dapat dirumuskan pada tingkat internasional adalah modalitas bagi
tanggapan secara terkoordinir (coordinated atau bahkan concerted response). G-20 yang
melibatkan sejumlah negara berkembang (termasuk Indonesia) merupakan suatu
mekanisme dialog yang bersifat informal.
Pertanyaan yang segera dapat dilontarkan adalah: Apakah sebaiknya upaya-upaya dan
kerjasama keuangan internasional dipusatkan pada tingkat regional? Di kawasan Asia
Timur terdapat berbagai prakarsa kerjasama keuangan regional, khususnya setelah terjadi
krisis ekonomi keuangan. Salah satu yang paling menonjol adalah Chiang Mai Initiative
(CMI) yang melibatkan negara-negara ASEAN+3. Upaya untuk melansir suatu prakarsa
dalam kerangka kerjasama APEC mengalami kegagalan dan menghasilkan suatu Manila
Framework Group yang tidak melibatkan semua negara APEC. Gagasan Jepang untuk
membentuk suatu Asian Monetary Fund (AMF) juga menemui kegagalan. Di kawasan
yang lebih sempit, ASEAN telah mengembangkan suatu surveillance process, walaupun
usulan semula adalah menciptakan suatu surveillance mechanism.
Ataukah upaya-upaya perlu dilakukan pada semua tingkatan? Bila demikian, agenda apa
yang harus diperjuangkan dan bisa dilaksanakan pada masing-masing tingkatan?
Di tingkat multilateral, Griffith-Jones dan Ocampo (2003) menyarakan agar tujuan
(goals) dari reformasi arsitektur keuangan internasional diperluas yaitu: (a) mencegah
krisis mata uang dan perbankan dan mengatasnya secara lebih baik apabila terjadi; dan
(b) mendukung penyediaan sumber daya finansial yang cukup bagi negara-negara
berkembang, termasuk yang termiskin. Untuk itu, arsitektur keuangan internasional
harus:
(a) guarantee the consistency of national macroeconomic policies with stability
of growth at the global level as a central objective; (b) offer appropriate

4
transparency and regulation of international financial loan and capital markets,
and adequate regulation of domestic financial systems and cross-border capital
account flows; (c) provide sufficient international official liquidity in crisis
conditions; (d) supply acceptable mechanisms for standstill and orderly debt
workouts at the international level; (e) provide appropriate mechanisms for
development finance.
Hingga sekarang belum terdapat kesepakatan mengenai agenda reformasi internasional.
Dari berbagai perdebatan dapat disimpulkan bahwa sekurang-kurangnya agenda
reformasi meliputi bidang-bidang: (a) penadbiran (governance) arus modal internasional,
(b) sistim nilai tukar, (c) mekanisme debt workout, (d) reformasi IMF, dan (e)
penadbiran keuangan internasional. Konsensus Monterrey (Maret 2002) sebenarnya juga
telah menggariskan suatu agenda yang komprehensif. Proses reformasi yang berlangsung
saat ini sangat asimetris karena terpusat pada upaya memperkuat kebijakan
makroekonomi dan regulasi keuangan di negara-negara berkembang.
Menurut Griffith-Jones dan Ocampo, perkembangan yang menunjukkan kemajuan adalah
dalam hal pengembangan codes and standards untuk menghindarkan krisis.
Perkembangan yang cukup adalah dalam hal marcroeconomic surveillance and
mechanisms untuk menjamin kebijakan ekonomi makro yang coherent. Sebaliknya, yang
belum menunjukkan kemajuan adalah dalam hal penggunaan SDR sebagai instrument
pembiayaan IMF.
Untuk mengkoreksi proses reformasi yang lamban ini diusulkan dua hal. Pertama, suatu
grand bargain, yaitu agar negara-negara berkembang bersedia melaksanakan secara
serius berbagai prakarsa yang menjadi kepentingan negara-negara maju apabila negaranegara
maju bersedia melaksanakan reformasi dalam sistim keuangan global yang dapat
menjamin arus modal yang semakin stabil bagi negara-negara berkembang dan
memperkecil kemungkinan terjadinya krisis yang mahal. Kedua, proses reformasi yang
sangat asimetris ini mencerminkan realitas politik dan bahwa negara-negara G-7 tidak

5
bersungguh-sungguh ingin melakukan reformasi. Oleh karena itu negara-negara
berkembang perlu melantangkan suara mereka dalam berbagai pembahasan di tingkat
internasional. Untuk itu tidak hanya perlu diupayakan untuk meningkatkan keterlibatan
negara-negara berkembang dalam forum-forum internasional, tetapi diperlukan upaya
untuk meningkatkan pengetahuan teknis mengenai masalah-masalah yang semakin
kompleks.
Di tingkat regional (Asia Timur), Dobson (2003) mencatat kemajuan dalam rangka CMI
tetapi belum memadai untuk menghindarkan atau mengatasi krisis seperti yang terjadi
pada tahun 1997/98. Selain itu, belum ada kesepakatan apakah CMI merupakan upaya
awal kearah kerjasama moneter untuk menciptakan stabilitas nilai tukar. Lebih jauh dari
itu, Dobson melihat beranggapan bahwa Asia Timur belum dapat memenuhi beberapa
persyaratan untuk dapat mengarah pada tujuan tersebut sebab negara-negara di kawasan
ini belum bersedia untuk melepaskan sebagian dari kedaulatannya kepada suatu
mekanisme kerjasama yang dapat memaksakan suatu negara untuk melakukan
penyesuaian dalam kebijakannya.
Oleh karena itu, upaya-upaya di kawasan ini yang dapat dilakukan untuk memperdalam
integrasi finansial adalah: (1) mengembangkan pasar obligasi regional; dan (2)
meningkatkan kerjasama untuk memperkuat dan memodernisasi lembaga-lembaga dan
pasar keuangan domestik.
Sebagai penutup kiranya dapat dinyatakan kembali bahwa upaya-upaya di tingkat
internasional/multilateral dan di tingkat regional dapat saling melengkapi. Keduanya
diperlukan. Suatu pengaturan (arsitektur) regional dapat lebih disesuaikan dengan kondisi
regional, dan negara-negara dalam kawasan yang sama mempunyai kepentingan bersama
yang lebih besar, sementara pengaruh yang saling dirasakan juga lebih kuat.
Untuk dapat saling melengkapi maka tujuan dan pola operasi antara keduanya harus
sejalan (dan konsisten), agar terhindar adanya distorsi seperti moral hazard. Aturanaturan
untuk ini belum dirumuskan. Itulah sebabnya timbul persoalan ketika gagasan

6
Asian Monetary Fund dilontarkan. Henning (2002) mengusulkan dibentukan suatu
financial equivalent of GATT Article XXIV yang menetapkan prinsip-prinsip
regionalisme di bidang keuangan.
Referensi:
Dobson, Wendy (2003), Asia Pacific Regional Architecture and Financial Market
Integration, Makalah disampaikan pada Konperensi PAFTAD (Pacific Trade and
Development) ke 29 di Jakarta, 15-17 Desember.
Henning, C. Randall (2002), East Asian Financial Cooperation, Policy Analysis in
International Economics, No. 68, Washington, D.C.: Institute for International
Economics, September.
Griffth-Jones, Stephany dan Ocampo, Jose Antonio (2003), What Progress on
International Financial Reform? Why so Limited? Expert Group on Development Issues,

rubiantotanoto999@gmail.com

No comments:

Post a Comment

put your email addreass

With my lovely life 🌹❤️

my lovely wife hanya maut yg memisahkan antara aku dan kamu